Rabu, 19 Juni 2013

Ada Seseorang Menjagaku!



Para penumpang bus memandang penuh simpati ketika wanita muda berpenampilan menarik dan bertongkat putih itu dengan hati-hati menaiki tangga. Dia membayar sopir bus, lalu dengan tangan meraba-raba kursi, dia berjalan menyusuri lorong sampai menemukan kursi yang tadi dikatakan kosong oleh si sopir. Kemudian dia duduk, meletakkan tasnya di pangkuannya dan menyandarkan tongkatnya pada tungkainya.

Setahun sudah lewat sejak Susan, 24 tahun, menjadi buta. Gara-gara salah diagnosa dia kehilangan penglihatannya dan tiba-tiba terlempar ke dunia yang gelap gulita, penuh amarah, frustasi dan rasa kasihan pada sendiri. Sebagai wanita yang sangat independen, Susan merasa terkutuk oleh nasib mengerikan yang membuatnya kehilangan kemampuan, tak berdaya dan menjadi beban bagi semua orang di sekelilingnya, "Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku?" Dia bertanya-tanya, hatinya mengeras karena marah. Tetapi, betapapun seringnya dia menangis atau menggerutu atau berdoa, dia mengerti kenyataan yang menyakitkan itu - penglihatannya takkan pernah pulih lagi.

Depresi mematahkan semangat Susan yang tadinya selalu optimis. Mengisi waktu seharian kini merupakan perjuangan berat yang menguras tenaga dan membuatnya frustasi. Dia menjadi sangat bergantung pada Mark, suaminya. Mark, seorang perwira Angkatan Udara. Dia mencintai Susan dengan tulus. Ketika istrinya baru kehilangan penglihatannya, dia melihat bagaimana Susan tenggelam dalam keputusasaan. Mark bertekad untuk membantunya menemukan kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan Susan untuk menjadi mandiri lagi. Latar belakang militer Mark membuatnya terlatih untuk menghadapi berbagai situasi darurat, tetapi dia tahu, ini adalah pertempuran paling sulit yang pernah dihadapinya.

Akhirnya, Susan merasa siap bekerja lagi. Tetapi, bagaimana dia bisa sampai kekantornya? Dulu Susan naik bus, tetapi sekarang terlalu takut untuk pergi ke kota sendirian. Mark menawarkan untuk mengantarnya setiap hari, meskipun tempat kerja mereka terletak di pinggiran kota yang bersebrangan. Mula-mula kesepakatan itu membuat Susan nyaman dan Mark puas karena bisa melindungi istrinya yang buta, yang tidak yakin akan bisa melakukan hal-hal yang paling sederhana sekalipun.

Tetapi, Mark segera menyadari bahwa pengaturan itu keliru, membuat mereka terburu-buru dan terlalu mahal. Susan harus belajar naik bus lagi, Mark menyimpulkan dalam hati. Tetapi baru berpikir untuk menyampaikan rencana itu kepada Susan telah membuatnya merasa tidak enak. Susan masih sangat rapuh, masih sangat marah. Bagaimana reaksinya nanti? Persis seperti dugaan Mark, Susan ngeri mendengar gagasan untuk naik bus lagi. "Aku buta!" tukasnya dengan pahit. "Bagaimana aku bisa tahu ke mana aku pergi? Aku merasa kau akan meninggalkanku."

Mark sedih mendengar kata-kata itu, tetapi dia tahu apa yang harus dilakukan. Dia berjanji bahwa setiap pagi dan sore dia akan naik bus bersama Susan, selama masih diperlukan, sampai Susan hafal dan bisa pergi sendiri.

Dan itulah yang terjadi. Selama dua minggu penuh, Mark mengenakan seragam militer lengkap mengawasi Susan ke dan dari tempat kerja, setiap hari. Dia mengajari Susan bagaimana caranya menggantungkan diri pada inderanya yang lain, terutama pendengarannya, untuk menentukan di mana dia berada dan bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Dia menolong Susan berkenalan dan berkawan dengan sopir-sopir bus yang dapat mengawasinya dan menyisakan satu kursi kosong untuknya. Dia membuat Susan tertawa, bahkan pada hari-hari yang tidak terlalu menyenangkan ketika Susan tersandung waktu turun dari bus, atau menjatuhkan tasnya yang penuh berkas di lorong bus.

Setiap pagi mereka berangkat bersama-sama, setelah itu Mark akan naik taksi ke kantornya. Meskipun pengaturan itu lebih mahal dan melelahkan dari pada yang pertama, Mark yakin bahwa hanya soal waktu sebelum Susan mampu naik bus tanpa dikawal. Mark percaya kepadanya, percaya kepada Susan yang dulu dikenalnya sebelum wanita itu kehilangan penglihatannya, wanita yang tidak pernah takut menghadapi tantangan apapun dan tidak akan pernah menyerah.

Akhirnya, Susan memutuskan bahwa dia siap untuk melakukan perjalanan itu seorang diri. Tibalah hari Senin. Sebelum berangkat, Susan memeluk Mark yang pernah menjadi kawannya satu bus dan sahabatnya yang terbaik. Matanya berkaca-kaca, penuh air mata syukur karena kesetiaan, kesabaran dan cinta Mark. Dia mengucapkan selamat berpisah. Untuk pertama kalinya mereka pergi ke arah yang berlawanan.

Senin, Selasa, rabu, Kamis, ..... Setiap hari dijalaninya dengan sempurna. Belum pernah Susan merasa sepuas itu. Dia berhasil !!! Dia mampu berangkat kerja tanpa dikawal. Pada hari Jum'at pagi, seperti biasa Susan naik bus ke tempat kerja. Ketika dia membayar ongkos bus sebelum turun sopir bus itu berkata, "Wah aku iri padamu!". Susan tidak yakin apakah sopir itu bicara kepadanya atau tidak. Lagi pula, siapa yang bisa iri pada seorang wanita buta yang sepanjang tahun lalu berusaha menemukan keberanian untuk menjalani hidup?

Dengan penasaran, dia bertanya kepada sopir bus itu, "Kenapa kau bilang kau iri padaku?" Sopir itu menjawab, "Kau pasti senang selalu dilindungi dan dijagai seperti itu." Susan tidak tahu maksud sopir itu. Sekali lagi dia bertanya, Apa maksudmu?" "Kau tahu, minggu kemarin, setiap pagi ada seorang pria tampan berseragam militer berdiri di sudut jalan dan mengawasimu waktu kau turun dari bus. Dia memastikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan mengawasimu terus sampai masuk ke kantormu. Setelah itu, dia meniupkan ciuman, memberi hormat ala militer, lalu pergi. Kau wanita yang beruntung," kata sopir itu.

Air mata bahagia membasahi pipi Susan. Karena meskipun secara fisik tidak dapat melihat Mark, dia selalu bisa merasakan kehadirannya. Dia beruntung, sangat beruntung karena Mark memberinya hadiah yang jauh lebih berharga dari pada penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihatnya dengan matanya untuk meyakinkan diri - hadiah cinta yang bisa menjadi penerang dimanapun ada kegelapan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

MiuAsakura Blog © 2008. Template Design By: SkinCorner