Rabu, 19 Juni 2013

Kisah Ayah Dan Botol Acar




Berikut adalah kisah yang sungguh luar biasa yang menggambarkan kasih sayang, cinta dan perjuangan seorang ayah kepada anaknya. Sebuah kisah yang menunjukan sesuatu yang sangat berharga tentang impian, tekad, teladan seorang ayah, disiplin dan pantang menyerah demi kehidupan anaknya yang lebih baik.

Setahuku, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orangtuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu. Bunyi gemerincingnya nyaring jika botol itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus jendela kamar tidur.

Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, menghitung jumlahnya sebelum membawanya ke Bank untuk membayar premi polis asuransi pendidikan. Membawa keping-keping koin itu ke Bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan ayah di atas sepeda motor tuanya. Setiap kali kami pergi ke Bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. “Karena koin-koin ini kau kelak tidak perlu bekerja mengayuh becak seperti ayahmu ini. Nasibmu akan lebih baik daripada nasib ayahmu.”

Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir Bank, Ayah selalu tersenyum bangga. “Ini uang kuliah anakku. Dia takkan bekerja mengayuh becak seumur hidup seperti aku.”

Pulang dari Bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah memilih yang vanila. Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. “Sampai di rumah, kita isi botol itu lagi.”

Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. “Kau akan bisa kuliah dengan koin dua ratus, lima ratus, dan seribu rupiah ini,” katanya. “Kau pasti bisa kuliah. Insya Allah.”

Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan di kota lain. Pernah, waktu mengunjungi orang tuaku, aku masuk ke kamar tidur mereka. Kulihat botol acar itu tak ada lagi. Botol acar itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah di pindahkan entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika mataku memandang lantai di samping lemari tempat botol acar itu biasa diletakkan.

Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, botol acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata daripada kata-kata indah.

Setelah menikah, kuceritakan kepada Fatimah, istriku, betapa pentingnya peran botol acar yang tampaknya sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu melambangkan betapa besarnya cinta Ayah padaku. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi botol acar itu dengan koin. Bahkan di kala ayah sakit sehingga tidak mampu mengayuh becak, dan Ibu terpaksa hanya menyajikan tempe goreng dengan sambal bawang selama berminggu-minggu, satu keping pun tak pernah diambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan mencolekkan sepotong tempe ke sambal, Ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku. “Kalau kau sudah tamat kuliah,” katanya dengan mata berkilat-kilat, “Kau tak perlu makan hanya dengan sambal bawang dan tempe seperti ini kecuali jika kau memang mau.”

Liburan akhir tahun pertama setelah lahirnya putri kami Fitri, kami habiskan di rumah orangtuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di sofa, bergantian memandang cucu pertama mereka. Fitri menagis lirih. Kemudian Fatimah mengambilnya dari pelukan Ayah. “Mungkin popoknya basah,” kata Fatimah, lalu di bawanya Fitri ke kamar tidur orangtuaku untuk di ganti popoknya.

Fatimah kembali ke ruang keluarga dengan mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Fitri ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar. “Lihat,” katanya lembut, matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah disingkirkan, berdiri botol acar yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin.Aku mendekati botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu ke dalam botol. Aku mengangkat kepala dan melihat Ayah. Dia menggendong Fitri dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan. Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama. Kami tak kuasa berkata-kata.

Segera temui ayahmu, cium tangannya yang mulai keriput dengan penuh kasih sayang, dan peluklah ia seolah tak ingin kau melepaskannya dan katakan dengan sepenuh hati, “Terimakasih wahai ayahku tercinta…. Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu. Sampai kutertidur bagai masa kecil dulu. Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku. Dengan apa aku membalas. Wahai ayahku tersayang…. (elhooda)

Sungguh kebiasaan baik terbentuk dari awal. Tindakan kecil ternyata bisa amat bernilai. Apapun profesi kita, bagaimana pun keadaan kita, mulailah dengan menanamkan bibit kebaikan kecil dan bertekad melakukan apa yang bisa kita lakukan dengan memanfaatkan kesempatan hidup kita.

Tindakan sederhana yang bagaimana pun kecil nilai kebaikannya, akan menjadi bernilai besar bila dilakukan dengan sepenuh hati, sekuat tenaga dan setulus jiwa, tanpa pernah mengharapkan imbalan atau pun balas jasa.

0 komentar:

Posting Komentar

 

MiuAsakura Blog © 2008. Template Design By: SkinCorner