Istriku
berkata kepada aku yang sedang baca koran, “Berapa lama lagi kamu baca
koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang
untuk makan.”
Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku
satu-satunya, namanya Sindu tampak ketakutan, air matanya mengalir. Di
depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas
India/curd rice).
Sindu anak yang manis dan termasuk pintar
dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice
ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd
rice ada “cooling effect”.
Aku mengambil mangkok dan berkata,
“Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice
ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama ayah.”
Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu
mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata, “Boleh
ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi
semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta.”
Agak ragu
sejenak “akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah
ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?” Aku menjawab, “Oh…pasti,
sayang.”
Sindu tanya sekali lagi, “Betul nih ayah?”
“Ya pasti!” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.
Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk
tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, janji kata
istriku. Aku sedikit khawatir dan berkata, “Sindu jangan minta komputer
atau barang-barang lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya
uang.”
Sindu menjawab, “Jangan khawatir, Sindu tidak minta
barang mahal kok.” Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya
sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu.
Dalam hati aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan
sesuatu yang tidak disukainya.
Setelah Sindu melewati
penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua
perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata
Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu.
Istriku spontan berkata, “Permintaan gila, anak perempuan dibotakin,
tidak mungkin.” Juga ibuku menggerutu jangan-jangan terjadi dalam
keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program TV itu sudah
merusak kebudayaan kita.
Aku coba membujuk, “Sindu kenapa kamu
tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak.” Tapi
Sindu tetap dengan pilihannya, “Tidak ada yah, tak ada keinginan lain,”
kata Sindu. Aku coba memohon kepada Sindu, “Tolonglah…kenapa kamu tidak
mencoba untuk mengerti perasaan kami.”
Sindu dengan menangis
berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan
nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan
saya. Kenapa ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah
Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji
kita terhadap seseorang apa pun yang terjadi seperti Raja Harishchandra
(raja India zaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan
tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku, “Janji kita
harus ditepati.” Secara serentak istri dan ibuku berkata, “Apakah kamu
sudah gila?” “Tidak,” jawabku, “Kalau kita menjilat ludah sendiri, dia
tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu,
permintaanmu akan kami penuhi.”
Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus.
Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu
botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil
tersenyum aku membalas lambaian tangannya.
Tiba-tiba seorang
anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, “Sindu tolong tunggu
saya.” Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki-laki itu botak.
Aku berpikir mungkin”botak” model zaman sekarang. Tanpa memperkenalkan
dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata, “Anak anda, Sindu
benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama-sama dia sekarang,
Harish adalah anak saya. Dia menderita kanker leukemia.” Wanita itu
berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu.
“Bulan lalu Harish tidak
masuk sekolah, karena pengobatan chemotherapy kepalanya menjadi botak
jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh teman-teman
sekelasnya. Nah Minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada
anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya
betul-betul tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang
indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan
mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan aku menangis, “Malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang kasih.”
Rabu, 12 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar