Rabu, 12 September 2012

Keindahan Jangan Disimpan, Melainkan Harus Dihargai

Seorang temanku menelpon dan menyampaikan kalau dirinya mengalami kecelakaan mobil pada beberapa hari lalu, sekarang sedang melakukan pemulihan di rumah, dia bertanya kepadaku apakah ada waktu untuk menjenguknya. Sehabis meletakkan telpon, aku segera berangkat ke tempatnya. Sesampainya di rumahnya, suaminya yang membukakan pintu, sedangkan tem
anku tampak duduk di atas sofa dalam ruang tamunya, kakinya tertutup oleh selembar selimut.

Melihatku datang, dia meminta maaf sambil tertawa: “Aku tidak bisa menjemputmu, sebab aku tidak bisa berdiri.”

Aku terkejut mendengarnya. Ketika selimut disingkirkan terlihat kalau sepasang kakinya tidak sama panjang. Seketika aku tertegun dan bertanya kenapa demikian?

Temanku menjawab: “Aku ditabrak oleh sebuah truk besar yang lepas kendali di jalan tol.”

Temanku menepuk sofa di sampingnya dan mempersilahkanku untuk duduk, setelah aku mengeringkan air mataku, dia meminta suaminya untuk mendorong kursi roda ke hadapannya. Batinku merasa pilu melihat kursi roda yang masih baru itu, ketika melihat suaminya membopongnya ke atas kursi roda, hatiku berdebar-debar, sebab sebelumnya dia memiliki sepasang kaki yang sangat indah!

Temanku meminta diriku untuk mendorongnya ke kamar tidurnya, dia memintaku untuk membuka lemarinya. Begitu dibuka, di dalamnya ada sepotong rok bertali bahu yang berwarna gading dan sangat indah, panjang rok sampai di lutut, di antara kedua utas tali bahu yang berukuran kecil ada dipasangkan sehelai selendang sutra berwarna perak keabu-abuan, di atas selendang tersulam gambar daun dari benang sutra perak, label harganya masih lengkap tergantung di sana.

Temanku memintaku untuk menurunkan rok dan selendang dari lemari dan menaruh di tangannya, dia merabanya dengan hati-hati dan mengepaskan pada tubuhnya sambil bertanya: “Indah bukan?”

Hidungku terasa berair: “Sungguh indah!”

Temanku melipat rok dan menaruhnya di tanganku : “Untuk kamu.” Aku lekas-lekas mengayunkan tangan.

Temanku menundukkan kepala: “Apakah menurutmu aku masih membutuhkannya di kemudian hari?”

Sepatah kata itu membuat kami berdua sama-sama menangis.

Temanku kemudian mengeluarkan satu kotak sepatu berwarna putih, setelah dibuka ternyata di dalamnya ada sepasang sepatu putih bertumit tinggi dengan ukuran 6 inci. Dia mengatakan: “Sepatu ini merupakan pasangan rok tadi.”

Aku menganggukkan kepala: “Sungguh indah!”

Temanku melihat dengan pandangan mendalam ke luar jendela, beberapa saat kemudian baru dia membalikkan kepala dan berkata kepadaku dengan perasaan sedih tiada terhingga: “Tahukah kamu, ketika aku menemukan diriku akan begini selama-lamanya, apa yang paling kusesali dalam hatiku? Paling kusesali adalah diriku tidak dapat lagi mengenakan rok indah lagi di kemudian hari. Aku tahu kalau kakiku sangat panjang dan sangat indah, apalagi jika sedang memakai rok pendek seperti ini, tentu akan lebih enak dipandang orang. Aku memiliki banyak helai rok yang indah, setelah kecelakaan semuanya telah kuberikan pada orang. Hanya tersisa sehelai rok yang paling kusukai ini, aku sudah lama menyimpannya dan tidak rela untuk mengenakannya, selalu saja menunggu datangnya suatu momen yang paling istimewa, suatu hari dan tempat yang sangat berbeda, namun sepertinya setiap hari adalah biasa-biasa saja, tiada satu hari pun yang istimewa, aku sekarang telah kehilangan kesempatan untuk mengenakannya untuk selama-lamanya.’

Dia berhenti sejenak dan menarik tanganku: “Sekarang aku tahu kalau sesuatu yang indah jangan disimpan selama-lamanya, jangan disimpan hanya untuk menunggu suatu hari istimewa yang tidak pasti datang.”

Ketika ke luar dari rumah temanku, hari sudah sangat malam. Aku duduk di mobil sambil memeluk rok, selendang dan sepatu yang sangat indah dan mahal ini, dalam benakku terus terbayang sepasang kaki temanku yang cacat dan rok yang indah ini, hatiku terasa sangat nyeri sekali, “hari penting” atau “hari istimewa” itu mungkin akan datang dalam hidupnya di kemudian hari, namun rok pendek dan sepatu bertumit tinggi ukuran 6 inci yang indah tidak ada lagi di dalam kamusnya.

Sebetulnya, dalam hidup kita bukankah kita juga sering dengan hati-hati menyimpan benda atau hal yang menurut diri kita adalah paling indah dan paling berharga untuk menunggu suatu tempat yang paling penting, suatu momen yang paling tepat atau suatu kesempatan yang istimewa, baru rela menampilkannya kepada orang?

Setibanya di rumah, suamiku masih menungguku sambil menonton televisi.

Aku masuk ke kamar untuk ganti pakaian dan ke luar dengan mengenakan rok, sepatu dan selendang.

Mata suamiku seketika menyala: “Oh Tuhan! Kamu sungguh cantik! Di mana kamu beli pakaian ini?”

Aku menggelengkan kepala dan menyampaikan kepadanya kalau pakaian ini dihadiahkan oleh seorang teman, sebab dia tidak bisa lagi mengenakan rok, sebab dia tidak punya kaki lagi.

Mata suamiku segera meredup, menarik tanganku untuk duduk dan melihat pada label rok itu: “Apa yang terjadi?”

Rok ini dibeli pada 3 tahun lalu, namun masih dalam kondisi baru.

Air mataku kembali mengalir deras ke luar: “Dia telah membelinya untuk waktu yang lama, dia pikir suatu hari nanti pasti ada kesempatan untuk mengenakannya, dia selalu menunggu suatu hari yang istimewa......”

Suamiku merangkulku dan mengelus rambutku: “Hari istimewa itu tidak pernah datang, bukankah begitu?”

Keesokan paginya, suamiku sudah sibuk di dapur, ketika aku masuk ke dapur dengan mata yang masih mengantuk, di meja makan telah tersedia sarapan pagi, tempat makanan sarapan ternyata adalah beberapa piring porselin warna gading, itu adalah peralatan dapur yang kubeli pada 2 tahun lalu dalam sebuah pameran, permukaan piringnya sangat halus, di tepi piring ada gambar stroberi merah dan daun hijau kecil. Saat ini di atas piring terisi telur mata sapi berwarna kuning dan putih, kelihatan sangat indah. Suamiku selama ini tidak mengijinkanku untuk menggunakannya, sebab takut jika pecah tidak bisa jadi set lagi, dia selalu beralasan kalau kelak suatu hari nanti kami pindah ke rumah besar, maka piring yang tidak satu set ini tidak akan enak dipandang lagi.

Pagi ini tentu dia pagi-pagi sudah bangun dan menghabiskan banyak waktu untuk mencari piring-piring ini di ruang penyimpanan.

Sehabis sarapan, aku memindahkan kursi untuk membuka pintu lemari gantung, di dalamnya tersimpan berbagai macam cangkir kristal kelas tinggi yang sesudah dibeli langsung disimpan. Semua cangkir itu kubeli secara bertahap, sebagian hanya dipergunakan sekalu dua kali saja ketika menjamu tamu pada Tahun Baru, sebagian lagi sama sekali tidak pernah dipergunakan. Setiap kali habis pakai segera disimpan kembali, takut kalau sampai dipecahkan oleh anakku, aku selalu menunggu sampai kelak anak sudah besar dan tidak akan memecahkannya lagi, baru akan dikeluarkan untuk dipergunakan, namun aku selalu saja khawatir akan dibuat pecah, tak peduli anakku usianya 2 tahun atau pun 12 tahun.

Maka semua peralatan makan dan cangkir indah ini biasanya tidak akan pernah diletakkan di atas meja makan. Sekarang aku menaruh semuanya di atas meja makan, aku tidak mau lagi menunggu datangnya suatu momen yang istimewa dan tidak biasa. Semua barang yang indah ini sudah dapat kulihat setiap saat.

Siangnya suami dan anakku pergi ke Electronic City, aku duduk untuk menulis selembar kartu ulang tahun, walau pun ulang tahunnya sudah lewat seminggu. Dulu setiap kali aku ingin menulis surat kepadanya untuk mengungkapkan perasaanku, berterima kasih atas kasih sayang dan pengertiannya selama beberapa tahun ini, bahkan aku ingin dia tahu betapa kagum dan sayangnya diriku kepadanya, namun selalu saja aku memberitahukan diri sendiri kalau tidak usah terburu-buru. Sebab ulang tahun pada tahun depan masih bisa, bahkan aku berpikir mungkin kalau kami berdua sudah renta dan tidak bisa bergerak leluasa lagi, masih belum terlambat untuk menulisnya saat itu.

Sekarang aku tahu kalau “hari esok” tidak mungkin akan tetap menungguku di depan, aku harus setiap saat menyampaikan perasaan sayang dan terima kasihku padanya. Aku malah menelpon satu bioskop dan memesan 3 lembar tiket untuk menonton film “Harry Potter” di hari Sabtu, anakku telah banyak kali memintaku untuk menemaninya menonton film-film yang disukainya, namun aku selalu merasa sangat sibuk dan tidak sempat menemaninya untuk menonton film kanak-kanak, aku selalu bilang nanti, menanti cuaca baik, menanti kondisi hati baik, menanti waktu luangku datang.

Selalu saja menunda-nunda, menunda sampai semua film sudah lewat masa tayangnya, namun “waktu, tempat dan orang yang cocok” itu tidak juga tiba. Sekarang anakku hampir mencapai usia di mana dia tidak perlu lagi ditemani untuk menonton film, aku terpikir akan suatu hari nanti ketika dia sudah dewasa dan meninggalkan rumah, hanya akan meninggalkan bayangan punggungnya dan penyesalan selama-lamanya. Aku telah menyia-nyiakan kesempatan untuk menonton bersamanya, kegembiraan yang tidak mungkin kembali lagi.

Ketika malam menonton televisi, suamiku mengeluarkan setumpuk brosur pemasaran rumah, pada setiap lembarnya tercetak gambar rumah yang sangat cantik, suamiku meletakkannya di depanku dan berkata: “Mari, pilih satu rumah yang kamu sukai.”

Aku memandang padanya, dulu dia tidak pernah membawa pulang benda seperti ini, juga menentangku membawa pulang. Dia selalu beranggapan kalau kami sudah punya rumah dan tidak perlu lagi menambah pengeluaran dengan membeli rumah baru.

Saat ini dia duduk di sofa dan mengeluarkan selembar di antaranya untuk ditunjukkan kepadaku: “Tempat ini cukup baik, sangat dekat ke Dong-hu, dari rumah bisa melihat air danau, di komplek juga ada lapangan tenis dan kolam renang, ada lahan rumput dan bunga yang luas... Kita boleh terlebih dahulu membayar uang muka, sisanya mengambil kredit dari bank, dengan demikian kita sekeluarga bisa tinggal di rumah idaman kita, ketika kamu lelah boleh ke kolam renang di bawah, anak kita juga boleh main roller skating di dalam komplek.”

Aku melihat padanya: “Bukankah pernah kamu bilang kalau kantormu ada fasilitas pembagian rumah?”

Suamiku menjawab: “Jangan menunggu lagi, sebab tidak tahu harus menunggu berapa tahun lagi, selain itu jika pun tiba waktunya mendapatkan jatah, belum tentu rumah tersebut akan kita sukai. Jika seumur hidup hanya 100 tahun, paling tidak semestinya kita pernah tinggal di rumah idaman kita.”

Aku menganggukkan kepala. Suamiku memandang padaku melewati meja teh, saat itu aku sedang mengenakan rok indah dari temanku. Dia seperti teringat sesuatu dan berjalan ke tempatku untuk merangkul pinggangku: “Tahukah apa yang kupikirkan ketika melihatmu mengenakan rok ini? Menurutku, benda-benda indah dalam kehidupan tidak seharusnya disimpan, semua yang ada dalam perkawinan juga demikian.”

Biar bagaimana pun, sepasang suami isteri sudah seharusnya menampilkan benda paling indah dalam setiap harinya, jangan disimpan sambil menunggu hari istimewa yang tidak pasti datang.

Sesuatu yang indah janganlah disimpan, melainkan harus dihargai. Benda yang indah dalam kehidupan tidak perlu disimpan, semua hal dalam perkawinan juga begitu. Jangan disimpan sambil menunggu hari istimewa yang tidak pasti datang.

0 komentar:

Posting Komentar

 

MiuAsakura Blog © 2008. Template Design By: SkinCorner