Tersebutlah
sepasang suami istri yang sudah dua tahun menikah. Keduanya punya sifat
yang saling berlawanan. Si suami sabar dan pengalah, si istri pemarah
dan selalu memarahi suaminya, padahal si suami sangat mencintai
istrinya. Si istri sebenarnya juga sangat mencintai suaminya.
Si suami senang sastra dan selalu post novel di internet, tapi tak
seorang pun yang membacanya. Dia juga menyukai fotografi. Ketika
menikah, dia ikut menangani foto perkawinan mereka.
Suatu hari,
seorang sahabat istrinya akan menikah dan meminta pria tersebut untuk
menangani foto perkawinan mereka. Si istri mendesak suaminya untuk
menolong sahabatnya.
“Sudah terima saja. Ini bukan proyek terima kasih. Mereka akan bayar,” kata si istri.
“Saya tak punya waktu untuk itu,” sahut si suami.
“Tak punya waktu? Stop tulis novel yang sia-sia itu dan kamu akan punya semua waktu yang kamu perlukan,” ujar si istri.
“Jangan berkata begitu. Suatu hari akan ada orang yang baca karya saya,” kata si suami.
“Saya tidak peduli. Kamu harus bantu teman saya.”
“Saya benar-benar tak bisa.”
“Untuk kali ini saja juga tak bisa?’
“Ya, saya tak bisa.”
Pembicaraan terhenti. Si istri akhirnya memberi peringatan terakhir, “Pikirkan dalam 3 hari ini dan katakan ya. Kalau tidak…”
Hari pertama, si istri tidak masak, tidak membersihkan kamar mandi,
mematikan komputer, televisi. Ia hanya mengurusi ranjang karena dia juga
tidur di sana. Si suami tidak peduli. Makanan bisa beli jadi.
Hari kedua, si istri menyita seluruh isi kantong dan tas kerja si suami.
“Tahu sendiri akibatnya jika kamu minta tolong di luar,” ancam si istri.
Kali ini, si suami kelabakan. Malam itu, si suami minta belas kasihan
pada si istri dengan harapan situasi ini akan berakhir. Ternyata si
istri tetap berkeras.
“Saya tak akan menyerah, apa pun yang dikatakannya, sampai dia setuju membantu teman saya,” katanya dalam hati.
Malam ketiga, si suami dan istri berbaring di ranjang, tapi masing-masing melihat ke arah lain.
“Rasanya kita harus bicara,” kata si suami.
“Tak ada pembicaraan, jika kamu tak mau bantu temanku,” sahut si istri.
“Ini sangat penting.”
Si istri tetap diam.
“Sebaiknya kita cerai saja,” kata si suami.
Si istri kaget, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Saya punya perempuan lain,” kata si suami.
Si istri benar-benar marah dan ingin memukul suaminya, tapi berhasil
mengendalikan diri dan menunggu kata-kata lainnya. Matanya terasa panas
dan air mata mulai menggenang.
Si suami mengambil sebuah amplop berisi foto dari saku pakaian dalamnya, satu-satunya tempat yang tidak digeledah si istri.
“Dia perempuan yang baik,” katanya. Air mata mulai si istri mulai bercucuran.
“Kepribadiannya juga baik,” sambungnya.
Hati si istri terasa hancur berkeping-keping. Suaminya menyimpan foto perempuan itu di dekat dadanya.
“Dia bilang, dia akan sepenuhnya mendukung saya menekuni hobi saya dalam mengarang sesudah kami menikah.”
Si istri sangat cemburu karena dia juga mengatakan hal yang sama ketika mereka pacaran.
“Dia benar-benar mencintai saya.”
Si istri merasa ingin melompat dari ranjang dan berteriak, “Bukankah saya juga begitu?”
“Jadi dia tak akan memaksa saya melakukan sesuatu yang tak ingin saya lakukan.”
Si istri mulai berpikir, tapi hatinya tetap panas.
“Ingin lihat foto dia hasil jepretan saya?”
Si suami lalu mengeluarkan foto itu dari amplop, mengulurkannya kepada
istrinya. Si istri sangat marah dan menepis keras tangan suaminya, lalu
menonjok lengannya.
Si suami tarik napas panjang. Si istri
menangis. Si suami lalu memasukkan kembali foto itu ke dalam sakunya. Si
istri menarik selimut dan menutupi seluruh badan dan kepalanya.
Si suami mematikan lampu dan tidur. Si istri tak bisa tidur. Ia
menyesal memperlakukan suaminya seperti itu. Ia menangis dan memikirkan
banyak hal. Ia ingin membangunkan suaminya dan bicara dengannya. Bahwa
dia tak akan kasar dan memaksanya lagi. Ia lalu memandangi dada suaminya
yang sedang tertidur. Dia ingin tahu seperti apa wajah perempuan
tersebut.
Perlahan, dia mendekati suaminya dan dengan hati-hati
menarik foto itu keluar. Ia ingin menangis dan ingin tertawa. Foto itu
adalah foto dirinya yang diambil suaminya secara baik. Ia membungkuk dan
mencium pipi suaminya.
Suaminya tertawa. Ternyata dia hanya
pura-pura tidur. Si istri berjanji tak akan mengulangi perbuatannya.
Berjanji akan memberikan dukungan penuh seperti yang diucapkannya
sebelum menikah.
Moral cerita :
Kita belajar mencinta
bukan dengan mencari orang sempurna, tapi dengan belajar melihat
ketidaksempurnaan orang tersebut secara sempurna. Kesabaran akan
mendatangkan kemenangan yang manis.
Dalam kehidupan ini,
hendaknya kita mengendalikan emosi dan menjauhkan rasa curiga. Janganlah
sampai mengumbar angkara murka kemana-mana, apalagi belum menyelidiki
dulu persoalan yang sebenarnya.
Kehidupan emosionil menandakan
kualitas kehidupanyang rendah. Selain lemah dan rapuh dari segi
spiritual, seorang yang tidak dapat mengontrol nafsu amarahnya akan
menghilangkan banyak kesempatan berharga dalam hidupnya.
Seorang pemarah, adalah seorang yang lelah menjalani hidupnya, ia
seorang yang berperang dengan dirinya sendiri. Sekalipun ia menang, ia
akan hancur.
Pada saat kita marah, kita telah kalah!
Pada saat kita membenci, kita telah terkunci!
Pada saat kita mendendam. kita telah menjadi tawanan!
Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi nafsu amarah. Hanya orang
bodoh yang membiarkan amarahnya meledak, karena amarah menetap dalam
dada orang bodoh.
Solusi menuju ketenangan adalah “MENGAMPUNI”.
Janganlah sampai amarahmu merusak jalan hidupmu dan masa depanmu. Jadilah orang sabar serta arif dan bijaksana.
Mari belajar bersabar, mengendalikan diri dan menahan emosi. Jauhkan
diri dari amarah, karena api kemarahan akan membakar semua energi
positip yang menjadi daya pendorong hidup kita.
Kamis, 13 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar