tepat dengan harga yang sangat tinggi. Seketika itu kakak Roy Angel menjadi kayaraya.
Setelah itu kakak Roy Angel menanam saham pada perusahaan besar dan memperoleh untung yang besar pula. Kini dia tinggal di apartemen mewah di New York dan memiliki kantor di Wallstreet.
Seminggu sebelum Natal, kakaknya menghadiahi Roy Angel sebuah mobil baru yang mewah dan mengkilap. Walau sudah menolak pemberian tersebut, kakaknya tetap bersikeras untuk menghadiahkannya.
Suatu pagi seorang anak gelandangan menatap mobilnya dengan penuh kekaguman.
“Hai.. nak” sapa Roy
Anak itu melihat pada Roy dan bertanya “Apakah ini mobil Tuan?”
“Ya,” jawab Roy singkat.
“Berapa harganya Tuan?”
“Sesungguhnya saya tidak tahu harganya berapa”.
“Mengapa Tuan tidak tahu harganya, bukankan Tuan yang punya mobil ini?” Gelandangan kecil itu bertanya penuh heran.
“Saya tidak tahu karena mobil ini adalah hadiah pemberian dari kakak saya”.
Mendengar jawaban itu mata anak itu melebar dan bergumam, ”Seandainya…. seandainya…”
Roy mengira ia tahu persis apa yang didambakan anak kecil itu, “Anak ini pasti berharap memiliki kakak yang sama seperti kakakku”.
Ternyata Roy salah menduga, saat anak itu melanjutkan kata-katanya:
“Seandainya… seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu..”
Dengan masih terheran-heran Roy mengajak anak itu berkeliling dengan mobilnya.
Anak itu tak henti-henti memuji keindahan mobilnya.
Sampai satu kali anak itu berkata, ”Tuan bersediakah Tuan mampir ke rumah saya ? Letaknya hanya beberapa blok dari sini”.
Sekali lagi Roy mengira dia tahu apa yang ingin dilakukan anak ini.
“Pasti anak ini ingin memperlihatkan pada teman-temannya bahwa ia telah naik mobil mewah” pikir Roy.
“OK, mengapa tidak”, kata Roy sambil menuju arah rumah anak itu.
Tiba di sudut jalan si anak gelandangan memohon pada Roy untuk berhenti sejenak, “Tuan, bersediakah Tuan menunggu sebentar? Saya akan segera kembali”.
Anak itu berlari menuju rumah gubuknya yang sudah reot. Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Roy mulai penasaran apa yang dilakukan anak itu dan keluar dari mobilnya, menatap rumah reot itu.
Pada waktu itu, ia mendengar suara kaki yang perlahan-lahan. Beberapa saat kemudian anak gelandangan itu keluar sambil menggendong seorang anak kecil. Ternyata anak kecil itu adalah adiknya yang telah lumpuh sejak kecil.
Setelah tiba di dekat mobil, anak gelandangan itu berkata pada adiknya: “Lihat… seperti yang kakak bilang padamu. Ini mobil terbaru. Kakak Tuan ini menghadiahkannya pada Tuan ini. Suatu saat nanti kakak akan membelikan mobil seperti ini untukmu”.
“Seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu,” Roy sampai menitikkan air mata sangking terharunya menyaksikan betapa besar dan tulusnya kasih seorang kakak terhadap adiknya.
Sungguh besar kasih seorang kakak terhadap adiknya. Sungguh luar biasa rasa persaudaraan yang terukir dalam hati sang kakak. Tak pernah sekalipun terbersit dalam pikirannya akan kecacatan dan kelumpuhan adiknya. Sekalipun hidupnya melarat dalam kemiskinan dengan beban adik yang lumpuh, tetapi sungguh hatinya berlimpah kasih, hatinya lebih kaya dari siapa pun juga. Inilah kekuatan di balik kasih dan rasa persaudaraan.
Semoga kita semua terinspirasi dengan kisah nyata ini. Sungguh merupakan sebuah refleksi dan cermin bagi kita dalam menjalani kehidupan yang penuh lika-liku. Semoga semua kakak adik hidup harmonis, hidup berdampingan dengan rasa persaudaraan yang kental, saling mengasah, mengasuh dan mengasuh.
Setelah itu kakak Roy Angel menanam saham pada perusahaan besar dan memperoleh untung yang besar pula. Kini dia tinggal di apartemen mewah di New York dan memiliki kantor di Wallstreet.
Seminggu sebelum Natal, kakaknya menghadiahi Roy Angel sebuah mobil baru yang mewah dan mengkilap. Walau sudah menolak pemberian tersebut, kakaknya tetap bersikeras untuk menghadiahkannya.
Suatu pagi seorang anak gelandangan menatap mobilnya dengan penuh kekaguman.
“Hai.. nak” sapa Roy
Anak itu melihat pada Roy dan bertanya “Apakah ini mobil Tuan?”
“Ya,” jawab Roy singkat.
“Berapa harganya Tuan?”
“Sesungguhnya saya tidak tahu harganya berapa”.
“Mengapa Tuan tidak tahu harganya, bukankan Tuan yang punya mobil ini?” Gelandangan kecil itu bertanya penuh heran.
“Saya tidak tahu karena mobil ini adalah hadiah pemberian dari kakak saya”.
Mendengar jawaban itu mata anak itu melebar dan bergumam, ”Seandainya…. seandainya…”
Roy mengira ia tahu persis apa yang didambakan anak kecil itu, “Anak ini pasti berharap memiliki kakak yang sama seperti kakakku”.
Ternyata Roy salah menduga, saat anak itu melanjutkan kata-katanya:
“Seandainya… seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu..”
Dengan masih terheran-heran Roy mengajak anak itu berkeliling dengan mobilnya.
Anak itu tak henti-henti memuji keindahan mobilnya.
Sampai satu kali anak itu berkata, ”Tuan bersediakah Tuan mampir ke rumah saya ? Letaknya hanya beberapa blok dari sini”.
Sekali lagi Roy mengira dia tahu apa yang ingin dilakukan anak ini.
“Pasti anak ini ingin memperlihatkan pada teman-temannya bahwa ia telah naik mobil mewah” pikir Roy.
“OK, mengapa tidak”, kata Roy sambil menuju arah rumah anak itu.
Tiba di sudut jalan si anak gelandangan memohon pada Roy untuk berhenti sejenak, “Tuan, bersediakah Tuan menunggu sebentar? Saya akan segera kembali”.
Anak itu berlari menuju rumah gubuknya yang sudah reot. Setelah menunggu hampir sepuluh menit, Roy mulai penasaran apa yang dilakukan anak itu dan keluar dari mobilnya, menatap rumah reot itu.
Pada waktu itu, ia mendengar suara kaki yang perlahan-lahan. Beberapa saat kemudian anak gelandangan itu keluar sambil menggendong seorang anak kecil. Ternyata anak kecil itu adalah adiknya yang telah lumpuh sejak kecil.
Setelah tiba di dekat mobil, anak gelandangan itu berkata pada adiknya: “Lihat… seperti yang kakak bilang padamu. Ini mobil terbaru. Kakak Tuan ini menghadiahkannya pada Tuan ini. Suatu saat nanti kakak akan membelikan mobil seperti ini untukmu”.
“Seandainya saya dapat menjadi kakak seperti itu,” Roy sampai menitikkan air mata sangking terharunya menyaksikan betapa besar dan tulusnya kasih seorang kakak terhadap adiknya.
Sungguh besar kasih seorang kakak terhadap adiknya. Sungguh luar biasa rasa persaudaraan yang terukir dalam hati sang kakak. Tak pernah sekalipun terbersit dalam pikirannya akan kecacatan dan kelumpuhan adiknya. Sekalipun hidupnya melarat dalam kemiskinan dengan beban adik yang lumpuh, tetapi sungguh hatinya berlimpah kasih, hatinya lebih kaya dari siapa pun juga. Inilah kekuatan di balik kasih dan rasa persaudaraan.
Semoga kita semua terinspirasi dengan kisah nyata ini. Sungguh merupakan sebuah refleksi dan cermin bagi kita dalam menjalani kehidupan yang penuh lika-liku. Semoga semua kakak adik hidup harmonis, hidup berdampingan dengan rasa persaudaraan yang kental, saling mengasah, mengasuh dan mengasuh.
0 komentar:
Posting Komentar