Ada kisah dari sebuah desa di Propinsi Anhui,
Tiongkok. Seorang bayi yang belum lama lahir, kedua orang tuanya
mendadak meninggal. Oleh sebab itu, ia tumbuh dewasa di lingkungan yang
serba sulit Mempertahankan hidup di lingkungan seperti itu benar-benar
sulit, apalagi masih memikirkan tentang sekolah, sungguh tidak mungkin.
Jadi ia, tidak mengenal tulisan sama sekali, bahkan tidak ada yang
peduli akan marga dan namanya.
Ia setiap hari bekerja keras
demi sesuap nasi. Ia berkata kepada majikannya, "Asalkan aku mendapat
beras, aku sudah puas!" Karena hal inilah, mereka memberikannya nama
panggilan sebagai "Bos Beras".
Waktu berjalan dengan cepat.
Dari masa remajanya menginjak usia setengah baya sampai mempunyai anak,
tetap saja setiap hari mencari nafkah untuk memenuhi makan sehari-hari
keluarganya. Rumahnya berada di tepi gunung, maka ia sering pergi
membelah kayu bakar untuk dijual. Inilah cara mendapatkan beras dari
hasil penjualannya.
Bos beras ini sangatlah jujur dan sama
sekali tidak mengerti yang namanya menawar. Kayu bakar yang ia dapatkan
sangatlah sering dengan kualitas yang baik. Karena itu, banyak sekali
orang yang ingin membeli kayu bakarnya. Suatu hari, setelah ia pergi
membelah kayu bakar dan hendak ke kota untuk menjualnya, tiba-tiba di
perjalanan ia bertemu dengan orang kaya yang sangat kikir. Ia tahu kayu
bakar yang dijual Bos Beras itu bagus dan kering, sehngga di pertengahan
jalan, ia menghentikan langkah Bos Beras dan berkata, "Aku ingin
membeli kayu bakarmu."
Bos beras senang sekali, tetapi orang
kaya yang tamak itu berkata, "Tunggu sebentar! Mari kita kompromi dulu,
berapa harga sepikul kayu bakar ini?"
"Harga sepikul kayu bakar ini biasanya pembeli memberiku 300sen."
"Rumahku dekat sekali. Kamu juga tidak perlu berjalan begitu jauh dan
tidak perlu memboroskan tenagamu ke kota. Jadi saya rasa kamu jual
padaku 100 sen saja."
Bos beras mencoba menghitung menggunakan
jari tangannya. Perbedaan 3 dengan 1 sangatlah jauh. Begini sama sekali
tidak cukup untuk membeli beras. Lalu orang kaya itu berkata lagi,
"Kalau begitu 200 sen saja!"
Bos beras tetap menghitung dan
merasa tidak cukup untuk membeli beras, kemudian ia memberikan jawaban,
"Saya tidak jadi jual. Lebih baik saya berjalan lebih jauh sedikit
lagi."
"Sudahlah, jangan berjalan begitu jauh. Jual saja kepadaku 250 sen," lanjut orang kaya itu.
Bos Beras berpikir keras. Jika saya tetap bertahan, bukanlah telah
memboroskan waktuku saja. Kemudian ia menjawab, "Baiklah! Baiklah! Jual
ke kamu saja."
Melihat kejujuran Bos Beras, orang kaya itu
memintanya memikul kayu bakar ke rumah. Setelah selesai menimbun semua
kayu bakar itu, orang kaya itu bertanya, "Siapakah sebenarnya namamu?"
"Aku tidak memiliki nama," Jawabnya dengan polos.
Karena orang kaya yang kikir itu tidak berhasil mendapatkan harga yang
ia inginkan, ia merasa kesal dan berkata, "Kamu tidak memiliki nama
sungguh sangat aneh. Bagaimana jika saya yang memberikanmu nama?"
"Bagus sekali," jawab Bos Beras. "Hidup setua ini, akhirnya ada orang
yang mau membantuku memberikan nama. Sungguh saya ingin berterima kasih
padamu."
"Kalau begitu, saya berikan nama 'Tinja' padamu."
"Kedengarannya bagus sekali. Sebelumnya orang lain selalu memanggilku Bos Beras, sekarang menjadi Tinja. Bagus sekali."
Orang kaya yang kikir itu sengaja bertanya kembali, "Tinja, kamu ada berapa Ayahanda?"
"Apa itu ayahanda?" tanya Bos Beras.
Si kaya menghinanya karena tidak mengenal tulisan, sehingga sengaja mempermainkan dengan menjawab, "Ayahanda adalah anakmu."
Ia akhirnya sadar dan menjawab, "Oh, rupanya Ayahanda ialah anakku. Coba saya hitung dulu. Saya memiliki 10 Ayahanda."
Bos Beras ialah orang yang bersemangat. Oleh karena itu, ia kembali bertanya, "Kalau begitu berapa banyak Ayahandamu?"
Mendengar hal ini, raut wajah si kaya mulai berubah dan menjawab,
"Aneh, mengapa kamu bertanya berapa banyak Ayahandaku? Ayahandaku telah
meninggal."
"Oh, kasihan sekali! Semua Ayahandamu telah
meninggal. Saya memiliki begitu banyak putra, bagaimana jika saya
memberikan kepadamu 1 atau 2 orang untuk dijadikan Ayahandamu?"
"Kurang ajar. Berani sekali kamu memberikan anakmu untuk dijadikan Ayahandaku?" Jawab si kaya dengan marah.
Melihat kemarahan si kaya, ia merasa aneh dan berkata, "Anda membeli
kayu bakarku dan juga memberikanku nama. Sementara saya berniat baik
memberikan anakku untuk dijadikan Ayahandamu. Lalu mengapa anda begitu
emosi? Melihat Anda seperti ini, sepertinya ingin sekali 'memakan' tinja
saya ini saja."
Apa itu Tinja? Tinja adalah "kotoran". Orang
kaya itu marah dan kesal sehingga mengambil tongkat ingin memukulnya.
Bos Beras itu merasa aneh dan berpikir, "Ada apa dengan orang ini?
Mengapa marah besar seperti ini tanpa sebab? Tanpa pikir panjang, ia
tidak menghiraukannya dan mengambil tongkat pemikul pulang ke rumah
dengan bebasnya.
Orang yang tidak menaruh pemikiran akan
perkataan orang meski orang lain memakinya, ia juga tidak akan mengerti
bahwa dirinya dimaki dengan sebutan "kotoran" dan di dalam hatinya masih
berasa bersyukur. Menyindirnya dengan ejekan berapa banyak "Ayahanda"
pun, ia juga tidak merasakan apa pun dan masih berniat baik ingin
memberikan anaknya untuk dijadikan Ayahanda bagi orang lain. Orang lain
ingin mengambil untung darinya, ia malah tidak merasa dirugikan. Ini
juga merupakan suatu filosofi, yaitu "filosofi orang bodoh". Dalam
kehidupan, kita juga seharusnya mempelajari filosofi ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar