Alkisah, ada sepasang kekasih yang hidup saling
mencintai. Sang pria berasal dari keluarga kaya raya dan merupakan
orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkan sang wanita adalah
seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan tetapi cantik, lemah lembut,
dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat sang pria jatuh hati.
Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah,
dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga,
orang tua sang pria tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang
terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut akan merusak
reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh
yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya,
bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia.
Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita
tersebut bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus
berargumen dengan orang tuanya bahkan membantah perkataan orangtuanya,
sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu,
umumnya seorang anak sangat patuh pada orang tuanya).
Sebulan
telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orangtuanya agar menerima
calon istrinya. Sang orang tua juga menjadi stress karena gagal membujuk
anak satu-satunya agar berpisah dengan wanita tersebut yang menurut
mereka akan sangat merugikan masa depannya.
Sang pria akhirnya
menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan
semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun ditetapkan, tetapi
rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang pria. Maka ketika
saatnya tiba, sang orangtua mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga
ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar.
Sebagai
gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan
sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat
terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian
memohon pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka
satu-satunya. Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat
besar, perkawinan mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk
kota, reputasi anaknya akan tercemar dan orang-orang tidak akan
menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan kepada anak
mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.
Mereka bahkan
memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar wanita
tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi dan
menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai
hidupnya di tempat lain.
Sang wanita menangis tersedu-sedu,
dalam hati kecilnya ia sadar bahwa perbedaan status sosial yang sangat
jauh, akan menimbulkan banyak kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia
setuju untuk meninggalkan kota ini, tetapi menolak untuk menerima uang
tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya
sadar, jalan hidupnya ke depan akan sangat sulit?.
Ibu sang
pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan sepucuk
surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah dengan
sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari kekasihnya,
dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. “Walaupun ia kelak bukan
suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang yang berhasil?
Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata sang ibu.
Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia
sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa
keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah
melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama
dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial
mereka. Ia tidak kuat lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk
berpisah.
Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat
tersebut. Sang wanita yang malang tersebut tampak tidak punya pilihan
lain. Ia terjebak antara moral dan cintanya. Sang wanita segera
meninggalkan kota itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih
terpencil. Disana, ia bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.
Detik .. Menit …. Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun …… Tak terasa Tiga
tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang ibu.
Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam,
untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di
sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga dan
menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua
pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia cukup
berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan,
karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat.
Tetapi sang
ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga tahun,
suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat tinggi. Ia
segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus menginap di
rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah menguras habis
seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini, dan itupun belum
cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke sana-sini, kepada siapapun
yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman.
Saat
diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup ramuan,
untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri dari
obat-obatan herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi sang
ibu hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya uang
sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak
mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan
belum terbayar.
Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak
tahu harus berbuat apa, untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa
tersebut telah menolak permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat
gajian. Diantara tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari
alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain.
Setelah pisau dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil
sekerat daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang
sedang tidur, ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah
berhamburan. Sang ibu tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri,
sambil berusaha tidak mengeluarkan suara kesakitan yang teramat
sangat?..
Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan
rintihan kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga, terutama
oleh anaknya sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan
pengorbanan yang sedang dilakukan oleh sang ibu.
Enam tahun
telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas,
dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari minggu,
mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama, dan
bersama-sama menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau” (terjemahannya
“Di Dunia ini, hanya ibu seorang yang baik”).
Sang anak juga
sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga toko, karena ia
sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari mereka
lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang
memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia
tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan biaya
untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas. Ia juga tahu,
bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat membelikan sebuah
jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya pernah
mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah pemilik toko
menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah,
tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak keperluan lain yang
perlu dibiayai.
Sang anak segera pergi ke toko tersebut, yang
tidak jauh dari rumahnya. Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar
menyimpan jam tangan tersebut, karena ia akan membelinya bulan depan.
“Apakah kamu punya uang?” tanya sang pemilik toko. “Tidak sekarang,
nanti saya akan punya”, kata sang anak dengan serius. Ternyata, bulan
depan sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam tangan tersebut.
Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main-main. Ketika
menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya “Dari mana kamu mendapatkan
uang itu? Bukan mencuri kan?”. “Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini
adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang pergi ke
sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat pulang dari sekolah
ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk beli jam ini.
Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan beritahu ibuku
tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak. Sang pemilik toko tampak
kagum pada anak tersebut.
Seperti biasanya, sang ibu pulang
dari kerja di sore hari. Sang anak segera memberikan ucapan selamat pada
ibu, dan menyerahkan jam tangan tersebut. Sang ibu terkejut bercampur
haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan ini memang adalah impiannya.
Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, dari mana uang untuk membeli jam
tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab. “Apakah kamu
mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak ingin ibu
mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya
berklai-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah
mencuri. “Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu
sudah mengajari kamu tentang hal ini?” kata sang ibu.
Lalu ibu
mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang pada
anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak menangis,
sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih,
karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya,
demi kebaikan anaknya. Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para
tetangga menuju ke rumah tersebut heran, dan kemudian prihatin setelah
mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya anak yang baik”, kata salah satu
tetangganya.
Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang
berkunjung ke rumah salah satu tetangganya yang merupakan familinya.
Ketika ia keluar melihat ke rumah itu, ia segera mengenal anak itu.
Ketika mengetahui persoalannya, ia segera menghampiri ibu itu untuk
menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang anak berlari ke arah pemilik toko,
memohon agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada ibunya.
“Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh
menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasehat kakek
itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba
muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam
tangan tersebut, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul
siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya.
Ia juga menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya
pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk
mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan ibunya.
Tampak
sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tersebut,
begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak
kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu.”Maafkan saya,
Nak.”
“Tidak Bu, saya yang bersalah”
Sementara itu,
ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi istrinya mandul.
Mereka tidak punya anak. Sang orangtua sangat sedih akan hal ini, karena
tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak. Ketika sang ibu dan
anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah kesempatan, mereka bertemu
dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari bahwa sebenarnya
ia sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. Ia mengajak mereka
berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya hidup mereka,
tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa bantuanmu.
Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu
ingin melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan. Di
pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter mengatakan
bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang konsisten.
Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya. Keuangan sang ibu sudah
agak membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis tidaklah
murah, ia tidak sanggup membiayainya. Sang ibu kembali berpikir keras.
Tetapi ia tidak menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya jalan keluar
adalah menyerahkan anaknya kepada sang ayah, karena sang ayahlah yang
mampu membiayai perawatannya.
Maka di hari Minggu ini, sang ibu
kembali mengajak anaknya berkeliling kota, bermain-main di taman
kesukaan mereka. Mereka gembira sekali, menyanyikan lagu “Shi Sang Chi
You Mama Hau”, lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak, sang ibu melupakan
semua penderitaannya, ia hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak.
Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak
menolak untuk tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu.
“Tetapi ibu tidak mampu membiayai perawatan kamu, Nak” kata ibu. “Tidak
apa-apa Bu, saya tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa
bersama-sama dengan ibu. Bila sudah besar nanti, saya akan cari banyak
uang untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu
bekerja lagi, Bu”, kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke
rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap
saat.
Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya.
Keduanya sangat senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak
pulang, sang anak meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya.
Walaupun diberikan mainan kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia
peroleh saat bersama ibunya, sang anak menolak. “Saya ingin Ibu, saya
tidak mau mainan itu”, teriak sang anak dengan nada yang polos. Dengan
hati sedih dan menangis, sang ibu berkata “Nak, kamu harus dengar
nasehat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan nenek akan bermain
bersamamu.” “Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya
sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya
lagi”, sang anak mulai menangis.
Bujukan demi bujukan ibunya
untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak didengarkan anak kecil
tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu “Kalau ibu sayang padaku,
bawalah saya pergi, Bu”. Sampai pada akhirnya, ibunya memaksa dengan
mengatakan “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah disini”,
ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tersebut. Tampak anaknya
meronta-ronta dengan ledakan tangis yang memilukan.
Di rumah,
sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat hati, ia
telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan menjenguk
anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik.
Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi. Ia
telah kehilangan satu-satunyanya alasan untuk hidup, anaknya tercinta.
Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat
nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin
tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk
mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh
diri itu dibatalkan, demi anaknya juga……….
Setahun berlalu.
Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja yang lebih baik
lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap menjalani perawatan medis
secara rutin setiap bulan.
Seperti biasa, sang anak ingat akan
hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa
perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka, pada hari tersebut, sepulang
dari sekolah, ia tidak pulang ke rumah, ia segera naik bus menuju ke
desa tempat tinggal ibunya, yang memakan waktu beberapa jam. Sang anak
telah mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia
setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan
nilai ujian yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk ibu.
Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju
rumahnya. Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah
kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu
kemana ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk
di depan rumah tersebut, menangis “Ibu benar-benar tidak menginginkan
saya lagi.”
Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas,
ketika sang anak sudah terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3
jam. Guru sekolah mengatakan semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah
dicari, tetapi tidak ada kabar. Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya,
yang juga sangat terkejut. Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak
hilang.
Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia
teringat sesuatu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk
sampai melupakannya. Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan
sang ibu segera naik mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka
hanya menemukan kartu ulang tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang
bagus, dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan
tangisannya, saat membaca tulisan-tulisan imut anaknya dalam surat itu.
Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa
mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu
membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis
ia memohon agar bisa menemukan anaknya. Seperti mendapat petunjuk, sang
ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya pernah pergi ke sebuah kuil
Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah berkata, bahwa bila kamu
memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang welas asih.
Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik. Ibunya
memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tersebut untuk
memohon agar bisa bertemu dengan dirinya.
Benar saja, ternyata
sang anak berada di sana. Tetapi ia pingsan, demamnya tinggi sekali.
Sang ayah segera menggendong anaknya untuk dilarikan ke rumah sakit.
Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari tangga, dan
berguling-guling jatuh ke bawah.
Sepuluh tahun sudah berlalu.
Kini sang anak sudah memasuki bangku kuliah. Ia sering beradu mulut
dengan ayah, mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh dari tangga, ibunya
tidak pernah ditemukan. Sang anak telah banyak menghabiskan uang untuk
mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya nihil. Siang itu, seperti
biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan teman wanitanya.
Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di persimpangan sebuah
jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang mengemis. Ibu tersebut
terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak pernah melihat
wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak berkomat-kamit. Di
dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan mobilnya, dan turun bersama
pacar untuk menghampiri pengemis tua itu.
Ternyata sang
pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk minta sedekah, ia
berucap dengan lemah “Dimanakah anakku? Apakah kalian melihat anakku?”.
Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia segera
menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan suara perlahan, tak
disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah.
Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang
selalu menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang anak segera memeluk
pengemis tua itu dan berteriak dengan haru “Ibu? Ini saya ibu”.
Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka sang anak, lalu
bertanya, “Apakah kamu ??..(nama anak itu)?” “Benar bu, saya adalah anak
ibu?”. Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur
membasahi bumi. Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur
kepalanya menjadi hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh
tahun terus mencari anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya.
Sebagian orang menganggapnya sebagai orang gila.
=========================
Perenungkan untuk kita renungkan bersama-sama :
Dalam kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa saja demi kita. Ibu
bahkan rela mengorbankan nyawanya.. Simaklah penggalan doa keputusasaan
berikut ini, di saat Ibu masih muda, ataupun disaat Ibu sudah tua :
1. Anakku masih kecil, masa depannya masih panjang. Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
Diantara orang-orang disekeliling Anda, yang Anda kenal, Saudara/I
kandung Anda, diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah yang rela
mengorbankan nyawanya untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara
apapun ………..
Tidak diragukan lagi “Ibu kita adalah Orang Yang Paling Mulia di dunia ini”. Ingin bergabung dalam sebuah MISI MULIA ?
Ada 2 tindakan yang dapat Anda lakukan :
1. Bila Anda beruntung (Ibu Anda masih ada di dunia ini), ajaklah ia
untuk keluar makan atau jalan-jalan MALAM INI JUGA. Jangan ditunda2.
Bila Ibu Anda tinggal di tempat yang terpisah jauh dengan Anda,
telponlah dia malam ini juga, just to say “hello”. Catatlah hari ulang
tahunnya, rayakan, dan bahagiakanlah dia semampu Anda. Hidangkan makanan
favoritnya, dan seterusnya.
2. Kirimkan kisah ini kepada
saudara/i Anda, teman2 Anda, maupun rekan-rekan kerja Anda. Bagi
sebagian dari mereka, kisah ini mungkin akan seperti setetes embun yang
menyegarkan jiwa mereka, yang terkadang terlalu sibuk dengan
aktivitasnya sendiri. Anda sungguh berjasa dalam hal ini?
Semoga Semua Ibu Di Dunia Berbahagia Selalu. _/I\_
Di Kutip Dari Artikel “Shi Sang Chi You Mama Hau”
Senin, 13 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar