Ada sepasang mertua dan menantu yang
hubungannya sangat buruk. Mertua senantiasa mengadukan kejelekan menantu
kepada anak lelakinya, menantu juga selalu mengeluhkan kesalahan mertua
kepada suaminya.
Suatu hari ketika suami baru pulang ke rumah, isteri sudah berkeluh kesah kepadanya.
Begitu ilham datang, suami berkata kepada isteri: “Jika kamu terus
ribut dengan ibu juga bukan jalan keluar, bagaimana kalau kita
menghabisi ibu saja, agar duri dalam dagingmu dapat dicabut.” Isteri
merasa senang mendengarnya, ternyata suami lebih memihak padanya.
Suami melanjutkan: “Perbuatan ini harus dilakukan tanpa meninggalkan
bekas. Mulai sekarang kamu harus berpura-pura untuk bersikap baik kepada
ibu, agar terwujud citra semu kalau hubungan kalian sangat harmonis,
sampai waktunya kalau pun kita menghabisinya, juga tidak ada orang yang
menaruh curiga.”
Menantu mulai bersikap menurut kepada mertua.
Setelah tiga bulan berlalu, isteri mulai tidak sabaran dan ribut-ribut
pada suami: “Aku tidak tahan lagi! Jelas-jelas benci padanya, malah aku
harus menuruti semua kemauannya. Malam ini kita harus bertindak, kalau
tidak maka ...”
Suami berkata: “Tidak bisa! Kalau sekarang
bertindak, para tetangga pasti curiga kalau kita yang melakukannya, kamu
harus bersabar lagi, kamu juga harus melepaskan prasangkamu dan
berusaha untuk menemukan kelebihan ibu, dengan demikian tentu kamu akan
merasa lebih mudah melewati hari-harimu.”
Isteri lalu lebih
serius lagi dalam berpura-pura untuk menuruti keinginan mertua.
Perubahan menantu awalnya tidak diterima oleh mertua, dia berpikir dalam
hati: “Pura-pura saja, aku mau melihat kamu bisa bertahan sampai
kapan?” Namun dikarenakan perubahan menantu, tanpa sadar mertua dan
menantu mulai bisa berbincang-bincang dan tertawa bersama, mertua juga
mulai membantu menantu mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci
pakaian dan mengepel lantai.
Setelah tiga bulan lagi, suatu
hari suami berkata pada isterinya: “Waktunya sudah tiba, sekarang kita
sudah boleh menghabisi ibu.” Begitu mendengar perkataan ini, isteri
tersentak dan berkata sambil menangis: “Dulu aku yang salah, itu karena
hatiku terlalu sempit dan meremehkan orang, padahal kelebihan ibu sangat
banyak, orangnya juga menyenangkan, hanya saja dulu aku tidak tahu.”
Suami juga tersenyum sambil meneteskan air mata, akhirnya mereka berdua sama-sama menangis.
Sejak itu suara tawa mertua dan menantu senantiasa terdengar dalam keluarga ini.
Dikutip dari buku “Wisdom at dawn” karangan Master Cheng Yen (Tzu Chi Founder)
Senin, 13 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar